Selasa, 23 Agustus 2011

Nenek Itu Berusia 21 Tahun

“Kalau wanita dan pria itu diberi pendidikan islami berdasarkan kodratnya masing-masing, maka wanita yang berumur 17 tahun akan sama dewasanya dengan pria yang berumur 25 tahun.”

Pernah melihat nenek-nenek berusia 21 tahun? Saya juga belum kok! Tapi adalah imam Syafi’i yang mengatakan itu,”Saya pernah berjumpa seorang nenek yang berusia 21 tahun.”
Kapan?
Di mana?
Beliau tak menyebutnya. Bercandakah? Mungkin, tapi sepertinya tidak juga.
Lalu, suatu ketika Ustadz Muhammad Quthb mengatakan begini:”Kalau wanita dan pria itu diberi pendidikan islami berdasarkan kodratnya masing-masing, maka wanita yang berumur 17 tahun akan sama dewasanya dengan pria yang berumur 25 tahun.”

Ternyata ilmu jiwa modern kemudian menemukan bahwa struktur psikologis wanita lebih cepat matang ketimbang pria. Ini memudahkan saya memahami, mengapa wanita-wanita dulu lebih cepat menikah ketimbang wanita sekarang. Aisyah R.A dinikahi Rasulullah SAW ketika beliau berumur antara 6-7 tahun. Ketika Rasulullah SAW meninggal dunia, beliau baru berumur 18 tahun. Berarti lebih dari 2000 hadist yang beliau riwayatkan setelah meninggalnya Rasulullah SAW, adalah hadist-hadist yang belaiau dengar selama beliau berada pada umur 6-18 tahun.

Kini, wanita yang berumur 18 tahun, baru saja menyelesaikan pendidikan SMA-nya. Itu pun kalau dia tak pernah tinggal kelas. Jangankan menghafal lebih dari 2000 hadist dalam umur seperti itu, pelajaran SMA-nya saja sulit dihafal.

Nah, sekarang ada sesuatu yang perlu dimengerti mengapa wanita dulu lebih cepat dewasa ketimbang wanita sekarang? Apakah wanita dulu memiliki “otak” yang lain dari otak yang dimiliki wanita sekarang?

Ataukah wanita dulu memiliki memiliki “hati” yang lain dari hati yang dimiliki wanita sekarang? Atau apakah wanita dulu memiliki “raga” yang lain dari raga yang dimiliki wanita sekarang? Atau apakah orang Arab memang lebih cepat dewasa dari pada bangsa lain, karena faktor iklim misalnya?

Semuanya tidak! Kalau otak, hati dan raga mereka berbeda, atau kualitas dan bobot yang yang dimiliki wanita sekarang lebih rendah dari pada wanita dulu, itu sama saja dengan mengatakan, bahwa ajaran Islam tentang wanita tak bisa diberlakukan sepanjang masa. Sebab, ajaran itu tak sesuai dengan bobot wanita sekarang?

Rupanya, kata Muhammad Quthb, masalahnya terletak pada sistem pendidikan. Kurikulum pendidikan kita tidak membedakan kodrat wanita dan pria. Mereka sama-sama disuruh lari, main volley, berenang, menjahit, dan bikin kue. Mereka sama-sama dikorbankan. Yang wanita terpaksa harus beradaptasi dengan dunia watak laki-laki, agar bisa bertahan hidup di lingkungan mereka. Yang pria harus lebih lembut, lebih ramah, lebih “manis” untuk bisa memasuki dunia watak wanita.

Kodrat kewanitaan itu terputus. Padahal wanita hanya bisa matang dlam lingkup perwatakan kewanitaannya. Maka ketika imam Syafi’i melihat seorang nenek yang berumur 21 tahun, beliau sesungguhnya hanya ingin mengatakan bahwa wanita itu dalam tradisi tarbiyah Islamiyah yang benar sungguh telah melampaui batas usia layak nikah. Terlalu jauh bahkan. Ia adalah gadis yang bernasib “nenek”. Sebab wanita itu masih lebih tua 3 tahun dari usia Ummul Mukminin Aisyah R.A ketika Rasulullah SAW meninggalkan beliau sebagai janda.

Andaikan imam Syafi’i masih hidup di masa ini, ia pasti akan melihat ribuan nenek-nenek berusia 21 tahun yang dengan amat lincah memetik gitar.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar