Selasa, 23 Agustus 2011

Dan Mulut Itu Pun Terdiam

Ketepatan jawaban, kebaikan tanggapan, keakuratan kata-kata dan kekuatan dialog serta kecepatan respon merupakan salah satu bukti kebijakan, kepandaian, kematangan dan kearifan, tidak banyak orang yang demikian, banyak faktor dan unsur yang mendukung, pikiran yang selalu hadir, otak yang selalu terasah, hati yang selalu jernih, pengalaman hidup yang panjang, kedalaman dan keluasan ilmu, penguasaan bahasa yang mumpuni, pengetahuan yang memadahi tentang cela-cela kalimat dari lawan dialog, semua itu adalah pendukung dan penunjangnya.

Membuat mulut itu terdiam tanpa bisa membalas dengan kata-kata hanya bisa dilakukan oleh orang-orang yang memiliki bekal dari apa yang saya katakan di atas dalam kadar yang lebih dari sekedar memadahi, dan itulah karunia lebih dari Allah yang Dia limpahkan kepada siapa yang Dia kehendaki dari hamba-hambaNya, itulah hikmah dan barangsiapa telah diberi hikmah maka dia telah diberi kebaikan yang banyak.

Membaca dialog dengan ungkapan yang baik dan argumentasi yang kuat memiliki kenikmatan tersendiri di samping hal tersebut bisa mengasah dan menajamkan kemampuan reaktif terhadap suatu perkataan. Kebatilan selalu ditampilkan semenarik mungkin oleh pengusungnya, walaupun demikian pasti ada cela, darinya kita merobohkannya dan meruntuhkannya dengan kecepatan dan ketepatan argumentasi sehingga ia tidak bangun lagi untuk selamanya.

Manzhur bin Aban menikahi seorang wanita, pada suatu hari terbukti bahwa wanita yang dinikahi Manzhur ini adalah janda bapaknya alias ibu tirinya, maka Khalifah Umar tidak mengambil keputusan lain kecuali memisahkan keduanya.

Setelah berpisah dari Manzhur wanita ini dinikahi oleh Thalhah, suatu hari Thalhah bertemu dengan Manzhur, dengan nada mencibir Manzhur berkata, “Bagaimana kamu merasakan bekasku?” Thalhah menjawab, “Sebagaimana kamu merasakan bekas bapakmu.” Dan mulut Manzhur pun terdiam.

Khalifah Abbasi al-Watsiq billah terkontaminasi virus Mu’tazilah Jahmiyah dalam masalah al-Qur`an, dia berkeyakinan bahwa al-Qur`an adalah makhluk, dia bertindak represif kepada rakyat demi menancapkan keyakinan ini pada mereka, sebuah keyakinan keliru yang menyimpang dari jalan lurus.

Lihatlah bagaimana dia mati kutu di hadapan seorang laki-laki biasa dari rakyatnya, laki-laki ini dibawa menghadap kepada al-Watsiq karena al-Watsiq ingin mengetahui pendapatnya tentang al-Qur`an, laki-laki ini berkata dalam hati, “Jika dia mendahuluiku bertanya maka dia akan menyulitkanku.” Begitu laki-laki ini tiba di hadapan khalifah, dia langsung berucap, “Semoga Allah mengagungkan pahalamu –ini adalah ucapan bela-sungkawa kepada keluarga mayit- wahai khalifah.” Khalifah bertanya, “Pada siapa?” Laki-laki tersebut menjawab, “Pada al-Qur`an.” Khalifah bertanya, “Apakah al-Qur`an mati?” Laki-laki itu berkata, “Ya, setiap makhluk pasti mati. Wahai khalifah, seandainya al-Qur`an mati di bulan Sya’ban lalu dengan apa kaum muslimin shalat tarawih di bulan Ramadhan?” Dan mulut al-Watsiq pun terdiam.

Seorang Arab berkata kepada orang Ajam (non Arab), “Semalam aku bermimpi masuk surga dan aku tidak melihat seorang pun dari orang-orang Ajam di dalamnya.” Dengan kalem orang Ajam tersebut menjawab, “Apakah kamu melongok ke dalam kamar-kamar yang ada di dalam surga?” Orang Arab menjawab, “Tidak.” Orang Ajam berkata, “Itulah sebabnya kamu tidak melihat mereka, mereka ada di dalam kamar-kamar itu.” Dan mulut orang Arab itu pun terdiam.

Huwaithib bin Abdul Uzza berumur panjang, 60 tahun di dalam jahiliyah dan 60 tahun di dalam Islam, suatu kali dia menghadap Marwan bin al-Hakam Gubernur Madinah. Marwan berkata kepadanya, “Engkau terlambat masuk Islam wahai bapak tua sehingga anak-anak muda mendahuluimu.” Huwaithib menjawab, “Demi Allah, tidak satu dua kali aku ingin masuk Islam, setiap kali aku berniat masuk Islam, selalu dihalang-halangi oleh bapakmu dan dia terus melarangku, bapakmu selalu berkata kepadaku, ‘Kamu meninggalkan agama nenek moyang kepada agama Muhammad.” Dan mulut Marwan pun terdiam.

Amir bin Syarahil asy-Sya’bi, salah seorang ulama besar tabiin, di tanya, “Bolehkah orang yang berihram menggaruk tubuhnya?” Asy-Sya’bi menjawab, “Ya, boleh.” Penanya bertanya, “Sebatas apa dia boleh menggaruk?” Asy-Sya’bi menjawab, “Sampai tulangnya terlihat.” Dan mulut orang itu pun terdiam.

Keakuratan argumentasi dengan akselarasi responsif merupakan salah satu pelajaran metodologi dialogis al-Qur`an, tidak satu dua ayat al-Qur`an yang menurunkan hujjah-hujjah akurat yang menohok mulut para penentang. Sebagai contoh, kepada orang-orang yang meragukan al-Qur`an, mengatakan bahwa al-Qur`an hanya ucapan made in Muhammad, ia bukan wahyu Allah, al-Qur`an bukun kebenaran hakiki dan tuduhan-tuduhan usang lainya, al-Qur`an berbicara dengan lantang,

“Dan jika kamu (tetap) dalam keraguan tentang al-Qur`an yang Kami wahyukan kepada hamba kami (Muhammad), buatlah satu surat (saja) yang semisal al-Qur`an itu dan ajaklah penolong-penolongmu selain Allah, jika kamu orang-orang yang benar. Maka jika kamu tidak dapat membuat(nya) - dan pasti kamu tidak akan dapat membuat(nya).” (Al-Baqarah: 23-24).

“Maka apakah mereka tidak memperhatikan al-Qur`an? Kalau sekiranya al-Qur`an itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapat pertentangan yang banyak di dalamnya.” (An-Nisa`: 82).

Hal seperti ini bisa kita baca pula pada dialog Nabiyullah Ibrahim dengan para penentangnya, salah satunya dalam surat al-Baqarah ayat 258, manakala Ibrahim mengatakan bahwa Rabbnya adalah yang menghidupkan dan mematikan, maka lawan dialog Ibrahim berkata, “Aku pun bisa menghidupkan dan mematikan.” Lalu dia mengahdirkan dua orang, yang satu dia bunuh dan yang lain dia biarkan hidup. Ini hanyalah akal-akalan yang bersangkutan, anak kecil pun tahu bahwa itu bukan menghidupkan dan mematikan. Selanjutnya Ibrahim menyodorkan sesuatu yang membuatnya tersedak batu. Ibrahim berkata, “Sesungguhnya Allah menerbitkan matahari dari timur maka terbitkanlah ia dari barat.” Alhasil , “Fabuhital ladzi kafar,” Lalu terdiamlah mulut orang kafir tersebut.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar