Selasa, 23 Agustus 2011

Cinta Akhirat

“Sesungguhnya Kami telah menjadikan apa yang ada di bumi sebagai perhiasan baginya, agar Kami menguji mereka siapakah di antara mereka yang terbaik perbuatannya.” (Q.S. Al-Kahfi : 7).

Menjelang akhir hayatnya, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam dihadapkan pada dua pilihan, antara hidup kekal hingga kiamat dan masuk surga atau segera kembali kepada Allah ‘Azza Wa Jalla. Beliau lebih memilih apa yang ada di sisi Allah Subhanahu Wa Ta’ala daripada dunia yang hina dina (hidup terus).

Imam Ahmad berkata, dari Alqamah dari Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu ‘Anhum, berkata: Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam berbaring beralaskan tikar, lalu membekas pada badan beliau. Ketika beliau terbangun, aku mengusap badannya, dan aku berkata, “Ya Rasulullah, tidakkah engkau izinkan kami untuk membentangkan sesuatu di atas tikar engkau?” Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam menjawab, “Perumpamaanku dengan dunia seperti orang yang sedang berjalan lalu berteduh di bawah pohon. Kemudian ia pergi lagi meninggalkan pohon tersebut”. (H.R. At-Tirmidzi dan Ibnu Majah. Menurut At-Tirmidzi hadits ini Hasan Shahih).

Namun orang-orang kafir lebih memilih dunia daripada akhirat. Allah berfirman: “Tetapi kamu (orang-orang kafir) memilih kehidupan duniawi. Sedang kehidupan akhirat adalah lebih baik dan lebih kekal.” (Q.S. Al-A’la : 16-17).

Pahala negeri akhirat adalah lebih baik dan kekal daripada dunia. Karena sesungguhnya dunia ini hina dan fana. Sedangkan akhirat mulia dan kekal. Maka, bagaimanakah orang yang berakal lebih memilih yang fana daripada yang kekal? Mengapakah lebih peduli dan memperhatikan sesuatu yang pasti hilang tanpa memperdulikan negeri abadi ?

Imam Ahmad rahimahullah berkata, dari ‘Urwah, dari ‘Aisyah, beliau berkata: Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda, “Dunia adalah rumah bagi orang yang tidak punya rumah dan harta bagi orang yang tidak punya harta. Orang yang tidak berakallah yang mengumpulkan dunia, dan untuk dunialah orang yang tidak berakal mengumpulkan.”

Ibnu Jarir berkata, dari ‘Atha’, dari ‘Arfijah Ats-Tsaqafi, berkata, “Saya meminta Ibnu Mas’ud membaca Surah Sabbihismarobbikal A’la. Tatkala beliau sampai pada bacaan “Bal tu’tsiruunal hayaatad dunya”, beliaupun menghentikan bacaan tersebut. Kemudian beliau mendatangi para sahabat lalu berkata, “Kita lebih memilih dunia daripada akhirat”. Maka para sahabatpun terdiam.

Ibnu Jarir melanjutkan, “Kita lebih memilih dunia karena kita memperhatikan perhiasannya, keindahannya, wanita-wanitanya, hidangan-hidangannya, minuman-minumannya. Padahal akhirat telah dibentangkan untuk kita. Justru kita memilih dunia…..”.

Prioritas Hidup

Agar kita lebih mencintai akhirat, yang bermakna mendahulukan ridha dan ampunan Allah, maka kita wajib menetapkan skala prioritas hidup, yakni: Allah, Rasul-Nya, dan jihad di jalan-Nya merupakan pilihan yang tidak bisa ditawar-tawar lagi dengan dunia dan seisinya.

Allah Subhanahu Wa Ta’ala menegaskan, “Katakanlah: “Jika bapak-bapak, anak-anak, saudara-saudara, isteri-isteri, kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya, dan rumah-rumah tempat tinggal yang kamu sukai, adalah lebih kamu cintai daripada Allah dan Rasul-Nya dan (dari) berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya.” Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang fasik.” (Q.S. At-Taubah: 24).

Pada ayat lain, Allah berfirman, “Ketahuilah, sesungguhnya kehidupan dunia itu hanyalah permainan dan suatu yang melalaikan, perhiasan dan bermegah-megah antara kamu serta berbangga-bangga tentang banyaknya harta dan anak, seperti hujan yang tanam-tanamannya mengagumkan para petani; kemudian tanaman itu menjadi kering dan kamu lihat warnanya kuning kemudian menjadi hancur. Dan di akhirat (nanti) ada azab yang keras dan ampunan dari Allah serta keridhaan-Nya. Dan kehidupan dunia ini tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu.” (Q.S. Al-Hadid: 20).

Cinta dunia itulah faktor besar yang melemahkan daya juang dan kepekaan umat terhadap daya serang musuh-musuh-Nya. Faktor ini pula yang meruntuhkan perjuangan mengamalkan dan menegakkan Khilafah yang mengikuti jejak kenabian. Sebab, manakala panggilan adzan dikumandangkan, seruan jihad didengungkan, ajakan amar ma’ruf nahi mungkar disampaikan, mereka lebih memilih, lebih mencintai, dan lebih memperhatikan kepentingan keluarga, anak-anak, saudara-saudara, isteri-isteri, kaum keluarga, harta kekayaan, perniagaan, dan rumah-rumah tempat tinggal.

Allah Ta’ala berfirman, “Sesungguhnya Kami telah menjadikan apa yang ada di bumi sebagai perhiasan baginya, agar Kami menguji mereka siapakah di antara mereka yang terbaik perbuatannya.” (Q.S. Al-Kahfi: 7).

Harta memang sering membuat manusia menjadi lupa diri dan lupa tanggungjawab terhadap Allah yang memberikan rezki tersebut. Harta jugalah yang sering meruntuhkan kekuatan perjuangan.

Hal inilah yang dikhawatirkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, “Demi Allah, bukan kefakiran yang aku takutkan akan menimpa kalian. Tetapi yang aku takutkan adalah bila dibentangkan di hadapan kalian dengan kemewahan dunia seperti dibentangkannya kepada ummat pada zaman dahulu. Lalu kalian bergelimang dengan dunia dan merebutnya sebagaimana mereka sebelum kalian. Lalu kalian menjadi binasa sebagaimana mereka juga binasa.” (Muttafaq ’Alaihi).

Islam tidak melarang umatnya memiliki harta kekayaan. Namun, mencintainya secara berlebihan di pandang keji. Harta akan bermanfaat jika harta itu menjadi alat bantu dalam beribadah dan berjuang untuk menegakkan agama Allah dan menyebarkan petunjuknya.

Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman, “Berangkatlah kamu baik dalam keadaan merasa ringan ataupun merasa berat, dan berjihadlah dengan harta dan dirimu di jalan Allah. Yang demikian itu adalah lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.” (Q.S. At-Taubah : 41).

Takhtim

Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda: “Seorang mukmin yang kuat (memiliki jiwa yang teguh dan bersih dalam perkara-perkara akhirat) lebih baik dan lebih disukai Allah daripada seorang mukmin yang lemah.”(H.R. Muslim).

Nabi yang baik hati ini juga mengingatkan, “Akan datang suatu masa dalam waktu dekat, bangsa-bangsa (selain umat Islam) bersatu akan mengalahkan kalian sebagaimana sekumpulan manusia berkerumun merebut hidangan makanan di sekitar mereka.

Sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, apakah karena sedikitnya kita (umat Islam) pada waktu itu?” Rasulullah menjawab, “Bukan, bahkan kalian pada waktu itu jumlahnya besar, tetapi kualitas kalian pada waktu itu bagaikan buih-buih di lautan yang dibawa oleh arus gelombang. Allah mencabut dari hati musuh kalian perasaan takut kepada kalian, dan Allah mencampakkan perasaan ‘al-wahn’ ke dalam hati kalian”. Sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah. apakah yang dimaksud dengan ‘al-wahn’ itu?” Rasulullah menjawab, “Cinta dunia dan takut mati.” (H.R. Bukhari dan Muslim).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar